Jika Menuruti Hawa Nafsu

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah: 23)

Saudaraku,
 
Sebagaimana halnya akal dan qalbu, hawa nafsu adalah aspek rohani yang amat berpengaruh pada moral. Seperti diungkapkan oleh al-Dabuni, “al-Hawa berarti apa yang disukai oleh nafsu (jiwa) dan nafsu itu cenderung kepadanya. Sedang nafs berarti ‘esensi’, dan ‘esensi sesuatu’ disebut jiwa sesuatu, atau ‘realitas’ {haqiqah}-nya. Dalam terminologi umum, kata nafs berarti jiwa, entah jiwa itu bersifat material, misalnya saja jiwa nabati dan jiwa hewani, atau bersifat abstrak misalnya benda-benda samawi dan jiwa rasional manusia. Dalam terminologi etika, nafs berarti khayalan dan angan-angan palsu dari ego manusia yang terpisah dan independen. Kata ini juga berarti jiwa jasmani atau hawa nafsu, berbagai hasrat dan keinginan”.
 
Maka hakikat syahwat (keinginan) nafsu adalah kecenderungannya kepada sesuatu sesuai dengan watak (tabiat)nya, dan menjauhi sesuatu yang tidak disukainya dan tidak dicintainya, padahal seringkali kerusakan jiwa disebabkan karena hal-hal yang amat disukainya itu, dan keselamatannya karena menjauhi hal-hal tersebut.
 
Saudaraku,
 
Kata nafsu kadang-kadang digunakan untuk kecenderungan nafsu yang bersifat umum yakni bisa cenderung kepada yang baik maupun yang buruk. Akan tetapi umunya kata al-hawa dipergunakan dalam arti kecenderungan nafsu kepada sesuatu yang menyalahi kebenaran. Ibnu Abbas mengatakan: “Allah tidak menyebut kata ‘al-hawa’pada suatu tempat dalam Kitab-Nya, kecuali dengan mencelanya”.
 
Jadi hawa ada yang terpuji dan ada yang tercela. Hawa yang terpuji adalah ciptaan Allah yang dianugerahkan kepada manusia supaya dia dapat membangkitakn kehendak mempertahankan diri dan menangkis bahaya yang akan menimpa, berikhtiar mencari makan dan minum serta tempat kediaman (dengan cara dan tujuan yang halal). Hawalah yang mendorongnya. Adapun hawa yang tercela adalah hawa nafsu yang terbit dari kehendak jahat, kehendak kepada loba dan berlebih dari keperluan.
Saudaraku,
 
Dalam hal ini, al-Jurjani dalam Kitab al-Ta’rifat mengatakan bahwa hawa nafsu berarti kecenderungan nafsu kepada sesuatu yang dapat memberi kepuasan atau kenikmatan kepada syahwat dengan tidak mengindahkan seruan syara’. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “…janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, yang dapat menyesatkan kamu dari jalan Allah…”. (Shad : 26)
 
Saudaraku,
 
Menurut Dr. Hamka, bahwa asal hawa ialah angin atau gelora. Dia ada pada tiap-tiap manusia, dia hanya gelora tidak berasal. Ia juga mengatakan bahwa “hawa nafsu menyebabkan (orang menjadi) marah, dengki, loba dan kebencian”.
 
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka manusia bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti keinginan-keinginan nafsunya. Allah menunjukkan kepada manusia lewat para Rasul-Nya mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah (bathil), seperti tersebut dalam Al-Qur’an:
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya ), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Dan sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (al-Syams : 7-10)
 
Saudaraku,
 
Adapun obyek yang menjadi sasaran keinginan nafsu, yang disebut syhwat, yaitu “gerak keinginan nafsu untuk memperoleh kenikmatan”. Perbedaan antara hawa dan syahwat, menurut buku “Adab al-Dunya wa al-Din”adalah bahwa hawa tertuju secara khusus pada hal-hal yang meyangkut pendapat-pendapat dan i’tikad, sedangkan syhwat dikhusukan pada usaha memperoleh kelezatan. Oleh sebab itu, syahwat merupakan hasil dari adanya hawa. Dan syahwat itu lebih khusus, sedangkan hawa nafsu adalah dasar yang sifatnya lebih umum.
 
Secara terperinci Al-Qur’an menjelaskan tentang obyek-obyek yang menjadi keinginan hawa nafsu yang disebut syahawat:
 
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada yang diingini yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dan jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah sebaik-baik tempat kembali.” (QS Ali Imran [3] : 14)
 
Saudaraku,
Firman Allah tersebut menunjukkan perincian obyek yang menjadi keinginan nafsu manusia pada umunya yaitu wanita (seks), anak (keturunan, kekuasaan), harta yang banyak dan bertumpuk-tumpuk berupa emas, perak, kuda (kendaraan), binatang ternak, dan tanaman (pertanian). Sebenarnya obyek-obyek syahwat itu bersifat netral dan Allah telah menetapkan aturan-aturan permainan bagi manusia dalam usahanya untuk memperoleh kenikmatan duniawi yang diinginkan dan didambakan oleh hawa nafsunya. Allah s.w.t menciptakan manusia mempunyai nafsu syahwat, sebenarnya memang mengandung faedah sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi sebagai berikut:
 
“…syahwat diciptakan tidak lain mempunyai faedah yang penting dalam menciptakan manusia. Sebab andaikata syahwat makan (misalnya) dicabut atau dihilangkan, pasti binasalah manusia, pasti akan terputuslah keturunan manusia, dan andaikata sifat marah hilang secara keseluruhan, manusia tidak dapat mempertahankan dirinya dari sesuatu yang hendak membinasakannya.”
 
Saudaraku,
 
Jadi, memenuhi hawa nafsu tidaklah dicela, yang tercela adalah syahwat yang sudah melampaui batas dan tidak mengindahkan aturan (Allah) dalam memenuhinya. Demikian pula tidak memenuhi sama sekali hawa nafsu juga dicela karena dengan demikian ia berarti meniadakan hak atas dinnya, seperti kebutuhan makan, pakaian, seks, dan sebagainya. Sabda Nabi s.a.w:
“Sesungguhnya jiwamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi), ragamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi), suami/istrimu mempunyai hak (yang harus kau penuhi), dan kedua matamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi),” (H.R. bukhari dan lain-lain). [Sumber: hariangustaman]

0 komentar:

Posting Komentar